Hai, nama saya Laras, umur saya 21 tahun tapi kadang, cara menulis saya masih seperti bocah kelas 6 SD yang diberi tugas membuat cerita liburan. Saya anak bungsu dari 2 bersaudara, ber"kakak"an seorang laki-laki berusia 30tahun. Di lingkungan sekitar saya, ada sebuah kebetulan yang seringkali di"iyaya"kan hingga menjadi seperti sebuah "kepercayaan". Anak laki-laki cenderung mirip ibunya secara fisik, terutama struktur wajah. Sebaliknya, anak perempuan cenderung lebih mirip ayahnya. Begitulah kurang lebih bunyi "kepercayaan" tersebut, yan rupanya berlaku bagi saya. Secara struktur wajah dan fisik, saya memang lebih mirip ayah saya, alm. Bulat, hidung kurang mancung, dan badan yang tak terlalu tinggi. Berbeda dengan kakak saya yang memiliki wajah lebih tirus dan hidung lebih panjang serta tubuh yang ramping. Berhenti sampai disitu, ternyata kemiripan saya dengan ayah hanya sebatas struktur wajah dan fisik. Sifat dan kepribadian saya justru sangat "ibu saya sekali". Saya lebih terbuka, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan seringnya jadi heboh sendiri. Atau dalam bahasa lainnya saya adalah seorang extrovert.
Saat tingkat rasa kebersyukuran masih di bawah sekarang, saya sempat merasa bahwa menjadi seorang extrovert adalah sebuah kekurangan, alay, dan memalukan. Perasaan tersebut semakin didukung oleh beberapa tulisan yang mengupas mengenai sifat kebalikan saya tersebut, introvert. Dari tulisan tersebut saya dapati beberapa contoh orang yang justru menikmati kesuksesand engan sifat mereka sebagai seorang introvert. Tidak, saya tidak lantas mencari kontradiksi dan mencari fakta untuk memposisikan ekstrovert sebagai sifat yang lebih baik. Perlahan saya sadar, dunia memang serba berpasang-pasangan, ketika Tuhan menciptakan prosa bernama introvert, disisi lain diciptakanlah ekstrovert. Keduanya memiliki peran yang sama. Saya terlahir dengan sifat biologis atau genetik yang lebih ekstroverian, lebih terbuka dan menyukai keramaian. Setelah kebersyukuran saya berada di tingkat ini saya mengerti, kegaduhan saya, keramaian saya, ketidakjelasan saya, ke"sok kenal"an saya adalah anugrah yang orang lain di luar sana inginkan, bukan sebuah hal yang memalukan. Beberapa orang justru kadang harus berpikir beberapa kali untuk sekedar menyapa dan tersenyum kepada orang lain. Tapi saya? senyum dan sapa itu seolah seperti otot-otot yang refleks bergerak ketika mendapat rangsangan. Anugrah yang indah. Dan bersama sifat dan kepribadian yang berbeda-beda tersebut akan menghasilkan "kesuksesan" dengan ragam dan jalannya sendiri-sendiri.
Dwi Larasati
Minggu, 10 Januari 2016
Senin, 26 Mei 2014
Kenapa?
“akhirnya lu muncul Jak, gue tungguin dari tadi, aku
mau nanya materi yang kemarin, mau aku pelajarin tapi kurang lengkap gitu, tapi
di-bbm malah gak bales elu nya, padahal lagi butuh banget, sibuk apaan sih? Mikirin
dia? Wkwkkk”
“ini materinya, otakmu encer tapi sayang jarang
dipakek, eman, jangan dikit-dikit nanya, annoying, dan jangan sok tau apa-apa
tentang gue, ketemu juga karena lu nanya apa kan?” suaranya tak keras tapi
terlampau jelas. Aku tertunduk. Anak-anak yang lain tanpa tahu apa yang
sebenarnya terjadi terus mesam-mesem. Semuanya salahku, tak seharusnya aku
mencintaimu.
Langit runtuh ketika kukendarai sepedaku dalam
perjalanan pulang, tak deras dan tak kuputuskan memakai jas hujan. Tak ada
apa-apa lagi yang bisa kupikirkan kecuali perkataanmu tadi siang. Bumi seolah
tengah dibalikkan, pijakanku hancur, kepala mendadak jadi kaki dan sebaliknya. Aku
hanya bisa terus menangis sembari menyesali diri. Kenapa harus padamu aku
menjatuhkan hati. Tak pernah aku sehancur ini, bahkan ketika dulu aku tahu aku
harus rela mencintaimu satu arah aku tak sehancur ini. Aku tetap tegar dan merawat
apa yang sudah kupilih tapi sekarang? Kemana kamu dan senyummu yang sabar
menghadapiku yang tak kau inginkan mencintaimu? Kemana obrolan-obrolan kecilmu
yang ramah dan cerita-cerita sepelemu yang tak sungkan kau umbar? Apa selama
ini semuanya palsu biar tak menyakitiku? Terlambat karena perkataan singkatmu
siang tadi lebih menyakitkan dari apapun. Kenapa tak dari dulu kau bilang
jangan ganggu aku? Kenapa kau biarkan aku menikmati arus sungai tanpa tahu
muaranya seperti ini? Kenapa dan banyak kenapa.
Aku biarkan semuanya menganga, pertanyaan kenapa dan
luka. Sembari berharap ada yang menjawabnya atau sekedar membantu mengeringkan
luka. Bukan diobati karena aku tahu tak ada obat untuk semua ini. Harapan,
angan, keinginan tentangmu sudah kututup. Dengan berat hati. Kalau aku tak
dijinkan mencintaimu, lalu siapa lagi yang bisa kucintai?
lagi membayangkan jadi aku.
Sabtu, 24 Mei 2014
Galau lagi, Ragu lagi, Mundur lagi, Majunya kapan?
Galau
lagi, Ragu lagi, Mundur lagi, Majunya kapan? Ke puncaknya kapan? Ketemu kamunya
kapan? *yang terakhir ngelantur baiklah*
Selamat
datang di sebuah malam dalam tujuh hari yang lebih diharapkan sebagian orang
dari malam-malam lainnya tapi saya bukan salah satunya. Malam minggu.
Identiknya jalanan rame, bioskop rame, tempat nongkrong mulai yang elit kayak
cafe-cafe sampe yang sekedar pinggiran jalan juga rame. Yang sepi barangkali
cuman hati mereka yang lagi jomblo sama yang ldr-an. Saya bukan keduanya karena
malam minggu saya gak sepi walopun gak di samping pacar *tetep kasian*. Malam
minggu saya rame, tab-tab browser di laptop saya rame banget malam ini lebih tepatnya
karena saya juga lagi jalan-jalan. Menyambangi profil-profil orang “penting”
yang saya harapkan dapat menyuntikan motivasi malam ini ke dalam diri. Jalan-jalan
ke berbagai blog, fiksi dan lain sebagainya. Banyak cerita sudah saya baca
dan..... bagus semuanya. Lalu apa masalahnya dengan saya? Masalahnya adalah
saya mendadak galau, galau di malam minggu *alah* tapi bukan gara-gara kamu,
gara-gara saya nemu banyak tulisan bagus, lalu saya juga suka nulis, tapi
tulisan saya tak sebagus mereka saya rasa.
Sambil
guling-gulingan di kasur saya merenung. Membuat penyesalan-penyesalan gak
berharga. Kenapa saya gak suka nulis dari dulu? Gak suka ngeblog dari dulu?
Kenapa harus setelah setua ini? *oke saya tua* kenapa ini kenapa ini dan kenapa
ini yang lainnya. Memang, jam terbang kepenulisan seseoranglah yang akhirnya
membentuk sebuah karakter. Bukan usia atau hal lainnya, semakin membiasakan
menulis semakin dewasa dan matang pula kualitas tulisannya. Termasuk beberapa
blog yang sudah saya kunjungi, dari jumlah postingannya jelas saya telak
walaupun (dengan berat hati harus mengakui lagi) dilihat dari usia saya lebih
dewasa mereka memang lebih rutin menulis, tidak seperti saya yang nulis kalau habis ketemu kamu aja. Tapi saya tak
terus berlarut dalam penyesalan, karena penyesalan tak akan membuat tulisan
saya bertambah. Masih banyak hal yang perlu disyukuri karena saya mau menulis
di usia saat ini, bukan tahun depan atau tahun depannya lagi. Banyak hal yang
bisa terus digali, diperbaiki, terpenting adalah terus menulis, bukan menyesal,
terjatuh, lalu tak bisa bangkit lagi *butiran debu bangeet*. Kalu lagi-lagi
galau, lagi-lagi ragu gak mau nulis lagi, kapan belajarnya? Kapan majunya?
Kapan ke puncak bareng kamunya?
Kamis, 22 Mei 2014
Sudah Bersyukur?
Ada banyak hal yang membuat kita, terutama saya,
sebagai manusia biasa yang banyak banget ngeluhnya kurang bersyukur atas apa
yang Tuhan beri. Daftar list kepengen yang
masih mendominasi note-note kecil kita adalah bukti kecil bahwa sikap kurang kita masih senantiasa merajalela.
Saya sendiri sebenarnya bukan orang yang suka bikin daftar-daftar keinginan
biar lebih memotivasi karena merasa motivasi hidup saya sudah cukup tinggi
hanya karena kamu ada disana *halah*. Saya lebih suka membaca cerita, cerita-cerita
cinta, cerita-cerita sukses, dan cerita apa saja yang penting ada hubungannya
sama dia, seperti soal konstelasi *lho kan ngelantur lagi*. Yang jelas, saya
suka menulis dan membaca.
Hari ini, kelebihan pulsa modem membuat saya
bersyukur untuk pertama-tama, kemudian surfing internet sebanyak-banyaknya.
Saya
buka berbagai berita terbaru soal korupsi, politik, dan kabar-kabar terbaru
negeri ini biar intelek dikit, gosip-gosip selebriti seperti rangkaian drama
yang entah apa endingnya, masukin kode-kode es krim walls yang saya dapet lalu
berharap dapet tiket Taylor Swift ternyata cuma ngumpul 2 poin *oh men sedih
banget*, dan yang paling menyenangkan adalah jalan-jalan di blogger, belajar
dari tulisan-tulisan dari sudut pandang saya. Dianugerahi hobi yang walau tak
gemar-gemar banget setidaknya lebih sgemar dari orang-orang disekeliling saya
dengan menulis membuat saya bersyukur untuk pertama kalinya (bersyukurlah untuk
apa saja yang telah Tuhan anugerahkan sebelum lebih banyak protesnya, hihi) sebelum
saya berpikir ulang, “kenapa nulis? Kenapa gak nyanyi ato main musik? Kenapa
gak ini dan itu? Kenapa nulis? Kan agak mainstream?”
lalu maafkan saya ketika saya menyadari bahwa mainstream bukan dari jenis suatu
kegiatannya, mainstream barangkali hanya sebuah bentuk judgement subjektif
terhadap sesuatu. Kalau nulis mainstream, apa kabar kegiatan yang lainnya?
Kalau kamu menganggap nulis mainstream apa kabar toko buku? Saya khilaf lalu
sekali lagi maafkan saya.
Ada banyak tulisan yang sudah saya baca. Fiksi,
tulisan ilmiah, argumen-arumen lain yang menarik dan keren, atau lebih keren
dari tulisan-tulisan saya. Tapi, hikmah terbesarnya adalah saya tidak menulis
begitu labil seperti dua sampai tiga tahun kebelakang. Ada banyak penyaring
yang harus dilewati untuk tidak mudah ikut-ikut kayak dulu lagi dan ada banyak
alasan untuk tetap menulis pada jalan saya sendiri. Dan tak hanya menulis,
menjalani hidup juga, betapa menyenangkan bersyukur pada segala apa yang kita
bisa dan kita punya. Dan saya bersyukur, dianugerahi perasaan senang, senang
menulis, senang padamu *salah fokus penutup tulisan* sekian.
Langganan:
Postingan (Atom)