Lagi-lagi, semua adalah hak pribadi. Bagaimana
seseorang menyikapi dan mempergunakan nikmat Tuhan. Termasuk media sosial. Mau explore
privasi terlalu dalam? silahkan, mau bagi-bagi ilmu? Masuk itungan kebaikan,
tapi bagaimana jika media sosial yang sudah menjamur dewasa ini menjadi
pembelok jati diri? Pembelok jati diri? Em… gak jarang kan lihat betapa
berbedanya beberapa orang dalam media sosial dibangding kenyataan. Betapa mereka
begitu terkenal, betapa mereka begitu aktif dan doyan bercuap melalui sebuah
media sosial, kemudian seketika diam bahkan ketika dihadapan sebuah kelompok
yang sebenarnya mereka paham, kelompok itu membutuhkan suara mereka sebenarnya,
membutuhkan pendapat mereka untuk menghadapi suatu masalah.dan tetoooooot,
mengapa keaktifan mereka mendadak hilang? Barangkali semuanya tak pernah jadi
masalah jika memang profesi dia sebagai storywriter yang membuatnya lebih
banyak menulis daripada berbicara, tapi bagaimana jika sama-sama dari kalangan
yang horizontal dengan kita? Sama-sama rekan kerja, rekan kuliah, dan
sebagainya? Masikah bukan masalah? Jika jarak yang diperlihatkan sudah terlalu
besar? Bayangkan jika… anda berada pada suatu lingkungan, bersama orang yang
anda tahu ia begitu aktif, bersemangat, menulis apa saja di berbagai media,
tapi begitu berkumpul dalam satu kelompok, sepatah katapun tidak?
Yap, kembali lagi, semua adalah hak pribadi,
live your own life, tapi setidaknya tulisan suingkat sesingkat kualitasnya ini
bukan mau menghakimi, bukan mau mengguri, cuman mau ngingetin “Kenyataan adalah
selalu yang dihadapi, tapi tak selalu apa yang dibaca lingkungan”
*semoga tulisan ini bagian dari salah
satu yang ditermia lingkungan*