Minggu, 10 Januari 2016

Yes, I Am Extroverian.

Hai, nama saya Laras, umur saya 21 tahun tapi kadang, cara menulis saya masih seperti bocah kelas 6 SD yang diberi tugas membuat cerita liburan. Saya anak bungsu dari 2 bersaudara, ber"kakak"an seorang laki-laki berusia 30tahun. Di lingkungan sekitar saya, ada sebuah kebetulan yang seringkali di"iyaya"kan hingga menjadi seperti sebuah "kepercayaan". Anak laki-laki cenderung mirip ibunya secara fisik, terutama struktur wajah. Sebaliknya, anak perempuan cenderung lebih mirip ayahnya. Begitulah kurang lebih bunyi "kepercayaan" tersebut, yan rupanya berlaku bagi saya. Secara struktur wajah dan fisik, saya memang lebih mirip ayah saya, alm. Bulat, hidung kurang mancung, dan badan yang tak terlalu tinggi. Berbeda dengan kakak saya yang memiliki wajah lebih tirus dan hidung lebih panjang serta tubuh yang ramping. Berhenti sampai disitu, ternyata kemiripan saya dengan ayah hanya sebatas struktur wajah dan fisik. Sifat dan kepribadian saya justru sangat "ibu saya sekali". Saya lebih terbuka, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan seringnya jadi heboh sendiri. Atau dalam bahasa lainnya saya adalah seorang extrovert.
Saat tingkat rasa kebersyukuran masih di bawah sekarang, saya sempat merasa bahwa menjadi seorang extrovert adalah sebuah kekurangan, alay, dan memalukan. Perasaan tersebut semakin didukung oleh beberapa tulisan yang mengupas mengenai sifat kebalikan saya tersebut, introvert. Dari tulisan tersebut saya dapati beberapa contoh orang yang justru menikmati kesuksesand engan sifat mereka sebagai seorang introvert. Tidak, saya tidak lantas mencari kontradiksi dan mencari fakta untuk memposisikan ekstrovert sebagai sifat yang lebih baik. Perlahan saya sadar, dunia memang serba berpasang-pasangan, ketika Tuhan menciptakan prosa bernama introvert, disisi lain diciptakanlah ekstrovert. Keduanya memiliki peran yang sama. Saya terlahir dengan sifat biologis atau genetik yang lebih ekstroverian, lebih terbuka dan menyukai keramaian. Setelah kebersyukuran saya berada di tingkat ini saya mengerti, kegaduhan saya, keramaian saya, ketidakjelasan saya, ke"sok kenal"an saya adalah anugrah yang orang lain di luar sana inginkan, bukan sebuah hal yang memalukan. Beberapa orang justru kadang harus berpikir beberapa kali untuk sekedar menyapa dan tersenyum kepada orang lain. Tapi saya? senyum dan sapa itu seolah seperti otot-otot yang refleks bergerak ketika mendapat rangsangan. Anugrah yang indah. Dan bersama sifat dan kepribadian yang berbeda-beda tersebut akan menghasilkan "kesuksesan" dengan ragam dan jalannya sendiri-sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar