Jumat, 15 Februari 2013

WAKTU


waktu yang hakikat
Bagi para pesakitan, waktu adalah musuh yang mereka tipu saban hari dengan harapan
Namun disana, dibalik jeruji yang dingin itu, waktu menjadi paduka raja yang tak pernah terkalahkan
Bagi para politisi dan olahragawan
Waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal
Para seniman kadang meilhat waktu sebagai angin, hantu, bahan kimia, seorang putri, payung, seuntai tasbih, atau sebuah rezim
Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh
Bagi para ilmuwan
Waktu umpama garis yang ingin mereka lipat dan putar-putar
Atau lorong yang dapat melelmparakan manusia dari masa ke masa, maju atau mundur
Bagi mereka yang terbaring sakit
Tergolek lemah tanpa harapan
Waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang
Bagi para petani waktu menjadi tiran
Padanya mereka tunduk dan patuh
Kapan menanam, kapan menyiram, dan kapan memeanen adalaha titah dari sang waktu yang sombong
Tak bisa diajak berunding
Tak mempan disogok
Bagi yang tengah jatuh cinta
Waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan
Sekaligus kecemasan
Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat
Semakin cinta melekat, semakin  kuat waktu menjerat
Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik

WAKTU


waktu yang hakikat
Bagi para pesakitan, waktu adalah musuh yang mereka tipu saban hari dengan harapan
Namun disana, dibalik jeruji yang dingin itu, waktu menjadi paduka raja yang tak pernah terkalahkan
Bagi para politisi dan olahragawan
Waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal
Para seniman kadang meilhat waktu sebagai angin, hantu, bahan kimia, seorang putri, payung, seuntai tasbih, atau sebuah rezim
Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh
Bagi para ilmuwan
Waktu umpama garis yang ingin mereka lipat dan putar-putar
Atau lorong yang dapat melelmparakan manusia dari masa ke masa, maju atau mundur
Bagi mereka yang terbaring sakit
Tergolek lemah tanpa harapan
Waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang
Bagi para petani waktu menjadi tiran
Padanya mereka tunduk dan patuh
Kapan menanam, kapan menyiram, dan kapan memeanen adalaha titah dari sang waktu yang sombong
Tak bisa diajak berunding
Tak mempan disogok
Bagi yang tengah jatuh cinta
Waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan
Sekaligus kecemasan
Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat
Semakin cinta melekat, semakin  kuat waktu menjerat
Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik

SCUFID SCRIPT


Tak Sampai Waktu

Untukmu…
Yang telah menyegarkan mata saat pelangi di kedua bolanya lenyap akan beban keseharian,
Yang telah menginspirasi hati dan pikiran untuk sejalan menciptakan karya baru di tengah jebakan deadline pekerjaan ,
Yang telah memberi senyum, semangat, dan ceria untuk jiwa-jiwa yang tak begitu bahagia, dan negrimu yang sibuk masalah politik dan persoalan lainnya,
Bulan ini begitu indah, penuh berkah, hujan yang tak henti mengguyur tiap harinya adalah berkah Tuhan yang mencintai kami dan negri indah ini, Indonesia. Masih terlalu pagi untuk menginjakkan kaki di tempat berkapet merah dan bertemaram lampu kuning sayu yang mengademkan hati ini. Memang bukan salah pengelola, lampu masih mati dan tak terlihat sedikitpun aktivitas petugas didalamnya saat kaki menginjak lantai 3 malang plasa, tempat bioskop  ini berada. Namun keterkejutan tiba-tiba muncul tatkala mata menangkap beberapa orang yang bergerombol seperti tengah merencanakan sebuah ancang-ancang. Aku, dan beberapa temanku masih ragu, bergantian menatap jam dan tak salah, dua jam lagi bioskop ini baru akan dibuka seperti tertera di jadwalnya. Kami tak diam, berusaha mencari tahu pesona apa yang membuat manusia-manusia yang telah ada di sini begitu bernafsu menjadi yang terdepan di barisan penjualan tiket. Kami berputar ke sisi lain bioskop, barulah kami mengerti. Wajah-wajah indahmu diperlihatkan, elok, membutakan mata, begitu indah, dan tetap sinkron berjejer dengan wajah-wajah negara manca. Itu baru pesona fisikmu saja yang ditampilkan begitu memesona lewat baliho-baliho berukuran tak terlalu besar, apalagi nanti saat kamu membawa kami semua disni berpetualang dengan cerita yang aku yakin LUAR BIASA.
Sejenak kemudian aku memilih menghilang dari kerumunan, memilih celah yang agak sepi. Termenung.
“ternyata, bangsa ini begitu hebat, lihat saja para filmmaker, karya-karya mereka menggaruda, membumbung tinggi, mencengkeram mangsa membabi buta. Cinta, cita, sahabat, hidup, doa, agama, semua memilki daya magnet masing-masing melalui jalan cerita, naskah, pemeran dan semua elemenmu, film”, dalam hati sambil tetap menatap jauh ke kerumunan.
“Terlepas dari kualitas yang sempat jatuh dan hampir terlalu lama tak bisa bangkit menyuarakan karya bermutu, itu belum seberapa. Toh harusnya, kalau jiwa -seni mencintai seni- ada di setiap penonton-penonton ini, pastilah hukum alam otomatis berlaku bagi mereka yang membuat fim dengan jiwa seni tapi lebih dominan jiwa bisnis, yang penting untung gede. Gak lama pasti menghilang dari bioskop-bioskop kok”.
“Sekarang justru yang lebih pelik adalah ketakutanku kehilangan orang-orang yang sudah memberi cinta di hatinya tulus untukmu. Ketakutan bahwa cinta mereka akanmu, film Indonesia, pudar berbarengan sama berakhirnya musim hujan tahun ini. Oke sedikit berlebihan. Tapi semua beralasan kan?”
“udah nonton film ini kaaan? Kereeen yaaa?” semangatku maksimal nanyain soal film yang sukses banget menggaet ratusan ribu penonton yang tayang pertengahan bulan ini dari novel best seller, bareng temen sesama pecinta film, Indonesia.
“iya udah, keren, keren banget, lebih keren lagi habis ini pasti tayang di tv. Berapa jam lo ngantri tiket? Dua jam? Tiga jam? Selamat deh, tapi yang gak perlu susah-susah ngantri plus keluar uang habis ini juga enak-enakan, leyeh-leyehan depan tv, nonton film keren. Heran sih kenapa film Indonesia bisa secepat kilat gitu muncul di layar kecil. Peduli amat yang rating kerennya berapa, mulai dari satu sampai sepuluh, tiga-empat bulan keluar bioskop masuk tv. Ibarat cinta gitu yeee, lo mau longlast-an dikit, eh pacar lo cinta sesaat doang, agak nyesek sih, isitilah sastranya gitu Cinta Tak Sampai Waktu, wakakak. Kalo lama-lama gini sih, mending mengabdikan uang buat liat film luar negri, keliatan lebih gak sia-sia, wort it-nya lama”.
“Aku tertegun, hening mendengarnya, tak ada daya mengeluarkan sedikit elakan, kerena memang itu adanya.  Tapi untuk mengikuti, tidak, aku masih cinta, mencintaimu seperti aku mencintai masakan ibuku. Karena kau adalah masakan yang diracik oleh chef-chef hebat dengan hati, rasa, pemikiran, emosi dengan harmoni yang berjalan selaras luar biasa. Aku tak mengerti banyak tentang problematikamu, perfilman Indonesia, yang aku tahu aku selalu terperanga menikmati setiap jalan cerita walau akhirnya tak lama kau muncul lagi untuk kunikmati di layar yang berbeda. Kecewa itu selalu ada, sempat aku berpikir, seserakah apakah makhluk Tuhan bernama manusia itu, setelah sukses meraup untung berjuta-juta dengan record penonton yang membludak seperti itu, kenapa kemudian mudah sekali berpindah tempat, berapa harga sebuah film untuk tayang di televisi seperti itu?. Aku hanya pelanggan, yang cukup duduk manis menikmati apa yang disajikan. Masakan itu terasa enak sekali mungkin, tapi setelahnya hilang lenyap tak berbekas. Seperti itulah curahan yang coba diungkapakan seorang teman di atas. Akan ada pelanggan yang memilih tak kembali karena hanya manis tak berkesan yang didapat, ada yang tetap setia menunggu dan berharap akan ada sebuah perubahan.
Tak banyak yang ingin aku ungkapkan kepadamu, sudah jelas betapa hati ini selalu memilihmu, setia mendengarkan dan menikmati segala yang ada padamu. Tapi kiranyalah jika engkau berkenan juga mengerti bahwa banyak hal yang perlu dilakukan untuk mempertahankan sebuah cinta. Apa yang tercurah di atas mungkin hanya sebagian kecil problematika yang ada, tapi nampak langsung di depan mata ini. Tapi bukankah sesuatu yang besar selalu berasal dari apapun yang kecil yang kemudian bertransformasi karena kadang tak terlalu diperhatikan. Aku tak mau semua masalah begitu terlambat diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Aku tak ingin cinta yang telah siapapun curahkan padamu satu persatu berguguran seperti dedaunan diujung kemarau panjang.
Lamunanku sepertinya sudah terlalu panjang, seorang teman menarikku masuk kedalam antrian, sesaat kemudian pintu terbuka dan berhamburanlah orang-orang ini mengincar barisan terdepan di dua loket yang disediakan. Tiket sudah ditangan, tak beberapa lama kami sudah duduk manis menikmati sajian yang akan memanjakan mata kira-kira dua jam ke depan.
“Semoga cinta-cinta mereka ini kepadamu akan seperti hukum kasih sayang ibu, sepanjang masa. Dan kau akan selalu memberi yang terbaik untuk membalasnya, film Indonesia.”

Dari yang tak terlalu pandai merangkai kata,
mencoba menulis sepucuk surat cinta,
untuk FILM INDONESIA

YTAP


YANG TAK AKAN PULANG

Yang sering tak bisa aku mengelak
Angin sepihak, menyibak sebuah nama
Nanar hati perih mengenang sosoknya
Gelap malam tanpa nina bobo seorang ayah

Tuhan.. aku..
Aku sadar, mataku jua belum memejam
Kau memangglnya dengan indah nan bijaksana

Alunan nada kecil lrih mula menyelinap
Kenangan kecil perlahan mulai tersibak dan Nampak
Angin berhembus kencang menegaskan agar diri mengerti
Nanti&esokpun tak akan ia kembali

Perasaan rindu cukup hati mengerti
Untuk bertemu, entah kapan aku tak paham
Linangan eluh mata mengalir selaras bersama doa
Ayah… sosok&cintamu kepada keluargamu
Nyanyian malam untuk anak-anakmu
Gaung hidup yang terus benderang, meski kau… Tak Kan Pulang