“akhirnya lu muncul Jak, gue tungguin dari tadi, aku
mau nanya materi yang kemarin, mau aku pelajarin tapi kurang lengkap gitu, tapi
di-bbm malah gak bales elu nya, padahal lagi butuh banget, sibuk apaan sih? Mikirin
dia? Wkwkkk”
“ini materinya, otakmu encer tapi sayang jarang
dipakek, eman, jangan dikit-dikit nanya, annoying, dan jangan sok tau apa-apa
tentang gue, ketemu juga karena lu nanya apa kan?” suaranya tak keras tapi
terlampau jelas. Aku tertunduk. Anak-anak yang lain tanpa tahu apa yang
sebenarnya terjadi terus mesam-mesem. Semuanya salahku, tak seharusnya aku
mencintaimu.
Langit runtuh ketika kukendarai sepedaku dalam
perjalanan pulang, tak deras dan tak kuputuskan memakai jas hujan. Tak ada
apa-apa lagi yang bisa kupikirkan kecuali perkataanmu tadi siang. Bumi seolah
tengah dibalikkan, pijakanku hancur, kepala mendadak jadi kaki dan sebaliknya. Aku
hanya bisa terus menangis sembari menyesali diri. Kenapa harus padamu aku
menjatuhkan hati. Tak pernah aku sehancur ini, bahkan ketika dulu aku tahu aku
harus rela mencintaimu satu arah aku tak sehancur ini. Aku tetap tegar dan merawat
apa yang sudah kupilih tapi sekarang? Kemana kamu dan senyummu yang sabar
menghadapiku yang tak kau inginkan mencintaimu? Kemana obrolan-obrolan kecilmu
yang ramah dan cerita-cerita sepelemu yang tak sungkan kau umbar? Apa selama
ini semuanya palsu biar tak menyakitiku? Terlambat karena perkataan singkatmu
siang tadi lebih menyakitkan dari apapun. Kenapa tak dari dulu kau bilang
jangan ganggu aku? Kenapa kau biarkan aku menikmati arus sungai tanpa tahu
muaranya seperti ini? Kenapa dan banyak kenapa.
Aku biarkan semuanya menganga, pertanyaan kenapa dan
luka. Sembari berharap ada yang menjawabnya atau sekedar membantu mengeringkan
luka. Bukan diobati karena aku tahu tak ada obat untuk semua ini. Harapan,
angan, keinginan tentangmu sudah kututup. Dengan berat hati. Kalau aku tak
dijinkan mencintaimu, lalu siapa lagi yang bisa kucintai?
lagi membayangkan jadi aku.