Jumat, 26 April 2013

'the right man on the right place- and the right what they do'


Tiba-tiba hati bertekad lagi gak mau nyalahin pemerintah dan sistemnya.
Sekelebat menit tadi, mata menangkap doa-doa generasi tua yang begitu mulia, “semoga semaikn hari bersama datangnya waktu, pemuda kita adalah mereka yang berkualitas yang mampu memperbaiki segalanya”.
Seraya meng-amini, aku melirik komentar-komentar balasan dari mereka yang sedang didoakan. Para pemuda yang lain justru sibuk bersilah, mencari pembelaan bahwa semua itu tergantung bagaimana pemerintah menerapkan sistem, pendidikan, disorotnya mati-matian.
Come on! Kita tak lagi harus berjuang seperti para gerilyawan yang diam-diam mereka tak sadar sedang menyetorkan nyawa penuh keikhlasan. Tak cuman merebut kemerdekaan, tapi kelanjutan keturunan-keturunan dibawah mereka. Kita tak perlu memanggul senjata, berpindah dari satu goa ke goa yang lain hanya untuk memperpanjang hembusan nafas. Kita sedang berjuang di era modern, semua serba ada.
Tiba-tiba gertakan emosi menyulut, aku tak ingin memihak siapapun, aku juga pemuda, masih tak terlalu bekerja keras di usia hampir 19 tahun ini, pikirku mengoreksi diri. Kalau yang sedang dipersoalkan para pemuda lain di atas adalah soal sistem ujian nasional yang sudah berbulan-bulan menjadi headline seluruh media. Itu bukan alasan cerdas.
Aku sendiri, sempat ragu sebelum unas ditempuh seminggu yang lalu. Isu bertebaran, inilah-itulah, nyatanya semua terlewati. Dua puluh paket soal itu benar-benar ada dan kami, angkatan 2013, sekolah menengah maupun pertama, walaupun nyata-nyata mampu menaklukannya, tetap saja merasa dipermainkan aturan,. Dijadikan kelinci percobaan yang lompatannya terlampau jauh, dari bumi secepat kilat melompat ke langit. Dari yang tahun lalu hanya lima paket soal tiap ruangan, melonjak langsung duapuluh. Semuanya memang tak tiba-tiba, sudah diumumkan jauh hari, mungkin jelang setahun sebelum ujian nasional tahun ini digelar.
Aku sendiri yakin, semua sekolah telah menyiapkan segala proses dengan cara mereka sendri, mematangkan para siswa, mental terutama, agar tak terlalu mempermasalahkan jumlah paket soal yang akan dihadapi.
Sampai tiba saatnya ujian nasional sma digelar, tahun ini sayang, tak sesuai namanya yang ‘nasional’ ujian kali ini justru tak serempak tergelar diseluruh pelosok negeri. Tapi ujian tetap ujian, aturan bagi kami tetap harus dijalankan. Sebagian besar Indonesia barat memulai sesuai jadwal, Indonesia tengah ke timur terpaksa molor tiga sampai empat hari. Gunjingan seperti tak pernah ada ujungnya, angkatan unas gagal-lah inilah, itulah, toh nyatanya ujian tetap terlaksana meski dalam keterlambatan. Mereka yang tinggal di Indonesia bagian tengah ke timur tetap tak goyah memompa lagi semangat mereka yang sempat kempes, terganjal, lagi-lagi isu dan gunjingan.
Pemerintah dan kami, pelajar maupun pengajar sama-sama manusia yang dengan prosesnya, telah distratakan ke sebuah diferensial horizontal, profesi dan peran. Pemerintah, di negara demokrasi kita ini, kitalah yang memilh, rakyat. Kita yang telah memberi mereka amanat memudahkan sebuah sistem negara kepulauan. Memberi mereka hak untuk memaktakan aturan-aturan untuk kemudian kita jalankan. Begitu juga mereka yang diserahi wewenang memperbaiki kualitas pendidikan, yang prestasinya patut dibanggakan tapi belum cukup memuaskan. Mereka, aku yakin sekuat tenaga, merumuskan apa yang terbaik untuk kami, rakyatnya, pelaku pendidikan khususnya. Inilah peran yang terjalankan karena profesi mereka sebagai pembuat peraturan. Pengajar juga, sebagai pengajar peran mereka mendidik anak didiknya, tetap dibawah naungan aturan, untuk menyelaraskan sistem, mereka, para guru, setiap hari telah mengupayakan yang terbaik, agar anak didik mereka dapat berjalan selaras dengan aturan, tak terpontang-panting, dan tetap dapat berprestasi sebagai pelajar.
Tersisa kita, para pemuda, pelajar, tugas kita satu, belajar. Menambah ilmu pengetahuan yang berguna lewat media apa saja. Selagi duapuluh empat jam kita habiskan lebih banyak untuk belajar dan mengais ilmu pengetahuan. Aturan baru model apapun, insyaAllah kita selalu mampu tersenyum, meski ketir kala dihadapkan keputusan-keputusan sesama makhluk manusia sendiri yang kadang terasa tak adil. Duapuluh paket tak akan terasa beban, mundur tiga hari bisa saja menjelma menjadi sebuah kesempatan besar, dan apapun realitas yang muncul mengiringi ujian nasional. Sistem pun akan tetap mampu berkonspirasi dengan semua elemennya, tak ada saling menyalahkan, harusnya justru saling memberi masukan dan kritik membangun ke depan. Tak akan jadi masalah besar, selama kita selalu ingat bertanya, sudahkah waktuku terlampaui sesuai peran dan profesiku? Konsep sederhana tapi dampaknya luar biasa. Seperti ini, ‘the right man on the right place’.


Jumat, 19 April 2013

#lastKBM #friends #class #senorhigh

analogi empat musim ini untuk kalian


Aku seperti terombang-abing dalam pergantian musim lintang sedang yang bahkan nyatanya tak pernah aku rasakan.
Jika saat ini musim panas, maka bisa jadi aku akan sangat labil mengatur emosi, disamping deraan tugas sekolah yang datang bertubi-tubi, layaknya remaja SMA lain, aku juga memiliki beberapa masalah “keremajaan” yang tak terlalu banyak, tapi kadang bisa menjelma menjadi terlalu kompleks.  Friend, friendship, pertemanan, persahabatan, permusuhan, akan selalu ada di setiap kehidupan, apalgi masa-masa remaja kayak gini. Hhhh, kembali lagi ke analogi musim panas, semuanya gerah, semuanya gersang, semuanya butuh asupan pendnginan secara labih, aku juga. Dan ya, lingkungan sekitar akan menjadi korban pertama semua itu, dan mereka teman-temanku. Yang duduk disamping, di depan, dibelakang, nyata ato cuman perumpaan, nyatanya mereka memang setia di tempatnya masing-masing. Luapan emosi tak terelakkan, aku mencercah, aku marah, aku mendidih, tak terbendung. Aku selalu mengkambinghitamkan emosi, aku bilang aku korban emosi. Padahal seharusnya, emosi adalah yang semua orang miliki, yang mereka jalankan dengan pikiran dan hati, yang jika kau tak berhati-hati, ia akan mudah sekali menjadi boomerang untukmu, menikammu bertubi-tubi dalam penyesalan, seperti aku, saat itu…
Kemudian musim gugur tiba, bersamaan dengan gugurnya satu per satu sahabat-sahabat yang telah menyempurnakanmu di tempat yang tak terlalu sempurna. Mereka berguguran, badan dan hatinya darimu, mereka menjauh, karena musim panas memakanmu. Perhatian, canda, tawa mereka juga, berguguran, tapi bedanya, tak menghasilkan keindahan yang biasa berserak di bumi seperti saat daun-daun kerng melukis setting lain secara alami untuk bumi. Kau harus terima kesendirianmu, sama seperti pohon yang menerima kesendiriannya tanpa dau, kering, tak hijau, tak damai…
Berganti musim dingin, salju putih mulai turun, memutihkan bumi yang tadi kotor, mendinginkan yang tadi berapi penuh emosi. Kata maaf teruntai, maaf-memaafkan, kali ini melebihi dingginnya salju nyta saat mendinginkan bumi. Ini lebih dingin, lebih sejuk, menyegarkan, lebih putih, kembali tanpa dosa, unutk mereka, sahabat…
Dan inilah musim yang paling menggembirakan, yang paling indah, rumput menghijau, bungan bermekar warna-warni, kumbang bertebaran berlomba menghisap nectar, manis, manis sekali. Seperti saat ini, sahabat-sahabatmu mengembangkan senyum paling indah, meumpahkan segala ceritnya, manisnya, untukmu. Tak berkurang apapun, meskipun aku… ya aku… pernah menyakiti, menyalahkan, berbuat salah, dan yang tak mengenakkan teramat sering… semuanya tak berkurang apapun, tak akan ada lagi musim panas, gugur , dingin, semi. Yang ada hanya satu… musim kebahagiaan sepanjang tahun dinegara tropis ini, bersama hangatnya musim kemarau dan indahnya pelangi yang muncul saat rintik hujan terhenti.