Tiba-tiba hati
bertekad lagi gak mau nyalahin pemerintah dan sistemnya.
Sekelebat menit
tadi, mata menangkap doa-doa generasi tua yang begitu mulia, “semoga semaikn
hari bersama datangnya waktu, pemuda kita adalah mereka yang berkualitas yang
mampu memperbaiki segalanya”.
Seraya meng-amini,
aku melirik komentar-komentar balasan dari mereka yang sedang didoakan. Para pemuda
yang lain justru sibuk bersilah, mencari pembelaan bahwa semua itu tergantung
bagaimana pemerintah menerapkan sistem, pendidikan, disorotnya mati-matian.
Come on! Kita tak
lagi harus berjuang seperti para gerilyawan yang diam-diam mereka tak sadar
sedang menyetorkan nyawa penuh keikhlasan. Tak cuman merebut kemerdekaan, tapi
kelanjutan keturunan-keturunan dibawah mereka. Kita tak perlu memanggul
senjata, berpindah dari satu goa ke goa yang lain hanya untuk memperpanjang
hembusan nafas. Kita sedang berjuang di era modern, semua serba ada.
Tiba-tiba gertakan
emosi menyulut, aku tak ingin memihak siapapun, aku juga pemuda, masih tak
terlalu bekerja keras di usia hampir 19 tahun ini, pikirku mengoreksi diri. Kalau
yang sedang dipersoalkan para pemuda lain di atas adalah soal sistem ujian
nasional yang sudah berbulan-bulan menjadi headline seluruh media. Itu bukan
alasan cerdas.
Aku sendiri,
sempat ragu sebelum unas ditempuh seminggu yang lalu. Isu bertebaran, inilah-itulah,
nyatanya semua terlewati. Dua puluh paket soal itu benar-benar ada dan kami,
angkatan 2013, sekolah menengah maupun pertama, walaupun nyata-nyata mampu
menaklukannya, tetap saja merasa dipermainkan aturan,. Dijadikan kelinci
percobaan yang lompatannya terlampau jauh, dari bumi secepat kilat melompat ke
langit. Dari yang tahun lalu hanya lima paket soal tiap ruangan, melonjak
langsung duapuluh. Semuanya memang tak tiba-tiba, sudah diumumkan jauh hari,
mungkin jelang setahun sebelum ujian nasional tahun ini digelar.
Aku sendiri yakin,
semua sekolah telah menyiapkan segala proses dengan cara mereka sendri,
mematangkan para siswa, mental terutama, agar tak terlalu mempermasalahkan
jumlah paket soal yang akan dihadapi.
Sampai tiba
saatnya ujian nasional sma digelar, tahun ini sayang, tak sesuai namanya yang ‘nasional’
ujian kali ini justru tak serempak tergelar diseluruh pelosok negeri. Tapi ujian
tetap ujian, aturan bagi kami tetap harus dijalankan. Sebagian besar Indonesia
barat memulai sesuai jadwal, Indonesia tengah ke timur terpaksa molor tiga
sampai empat hari. Gunjingan seperti tak pernah ada ujungnya, angkatan unas
gagal-lah inilah, itulah, toh nyatanya ujian tetap terlaksana meski dalam
keterlambatan. Mereka yang tinggal di Indonesia bagian tengah ke timur tetap
tak goyah memompa lagi semangat mereka yang sempat kempes, terganjal, lagi-lagi
isu dan gunjingan.
Pemerintah dan
kami, pelajar maupun pengajar sama-sama manusia yang dengan prosesnya, telah
distratakan ke sebuah diferensial horizontal, profesi dan peran. Pemerintah, di
negara demokrasi kita ini, kitalah yang memilh, rakyat. Kita yang telah memberi
mereka amanat memudahkan sebuah sistem negara kepulauan. Memberi mereka hak
untuk memaktakan aturan-aturan untuk kemudian kita jalankan. Begitu juga mereka
yang diserahi wewenang memperbaiki kualitas pendidikan, yang prestasinya patut
dibanggakan tapi belum cukup memuaskan. Mereka, aku yakin sekuat tenaga,
merumuskan apa yang terbaik untuk kami, rakyatnya, pelaku pendidikan khususnya.
Inilah peran yang terjalankan karena profesi mereka sebagai pembuat peraturan. Pengajar
juga, sebagai pengajar peran mereka mendidik anak didiknya, tetap dibawah naungan
aturan, untuk menyelaraskan sistem, mereka, para guru, setiap hari telah
mengupayakan yang terbaik, agar anak didik mereka dapat berjalan selaras dengan
aturan, tak terpontang-panting, dan tetap dapat berprestasi sebagai pelajar.
Tersisa kita, para
pemuda, pelajar, tugas kita satu, belajar. Menambah ilmu pengetahuan yang
berguna lewat media apa saja. Selagi duapuluh empat jam kita habiskan lebih
banyak untuk belajar dan mengais ilmu pengetahuan. Aturan baru model apapun,
insyaAllah kita selalu mampu tersenyum, meski ketir kala dihadapkan
keputusan-keputusan sesama makhluk manusia sendiri yang kadang terasa tak adil.
Duapuluh paket tak akan terasa beban, mundur tiga hari bisa saja menjelma
menjadi sebuah kesempatan besar, dan apapun realitas yang muncul mengiringi
ujian nasional. Sistem pun akan tetap mampu berkonspirasi dengan semua elemennya,
tak ada saling menyalahkan, harusnya justru saling memberi masukan dan kritik
membangun ke depan. Tak akan jadi masalah besar, selama kita selalu ingat
bertanya, sudahkah waktuku terlampaui sesuai peran dan profesiku? Konsep sederhana
tapi dampaknya luar biasa. Seperti ini, ‘the right man on the right place’.